TEMPO.CO, Jakarta - Payless mengajukan perlindungan kebangkrutan atau paillit dan berencana menutup 2.500 tokonya di Amerika Utara pada akhir Mei. Peritel sepatu diskonan tersebut menyatakan operasi ritel di luar Amerika Utara, di antaranya toko milik perusahaan di Amerika Latin, tidak masuk dalam ihwal pengajuan dan akan melanjutkan bisnisnya seperti biasa.
Baca juga: Anak Usaha Mitra Adiperkasa IPO dengan Total Nilai Saham Rp 897 M
Perusahaan yang telah menjalankan proses kebangkrutan dalam dua tahun ini, pada pekan lalu menyatakan akan memulai likuidasi penjualan dan menutup usaha onlinenya.
“Tantangan-tantangan yang dihadapi peritel hari ini tampak jelas, dan sayangnya Payless muncul dari reorganisasi sebelumnya yang kurang memiliki kemampuan untuk bertahan di kondisi ritel dewasa ini,” ujar Stephen Marotta, chief restructuring officer Payless Inc., dalam sebuah pernyataan pada Senin, 18 Februari 2019.
“Proses sebelumnya meninggalkan perusahaan dengan sisa utang yang terlalu banyak,” ujar Marotta.
Payless didirikan pada 1956, tujuannya menjual sepatu harga terjangkau. Perusahaan yang berbasis di Topeka, Kansas, ini mengikuti jejak sejumlah peritel besar yang telah terbenam utang dalam dua tahun terakhir seperti Toys "R" Us.
Peritel termasuk Shopko, FullBeauty Brands, Charlotte Russe, Things Remembered dan Gymboree telah mengajukan kebangkrutan tahun ini. Peritel AS harus bergulat menavigasi perubahan kebiasaan konsumen, termasuk beralih ke belanja online.
Payless telah berjuang mengelola utang yang diambil melalui leveraged buyout (aksi akuisisi) pada 2012 oleh Golden Gate Capital dan Blum Capital Partners. Perusahaan ini pertama kali mengajukan perlindungan kebangkrutan pada April 2017.
Payless diperkirakan memiliki liabilitas sebesar US$500 juta hingga US$1 miliar, menurut berkas pengajuan ke pengadilan. Anak perusahaan Payless di Kanada disebutkan juga akan mengupayakan perlindungan kreditor.
Sementara itu, selain toko di Amerika Latin, sekitar 370 toko waralaba internasional di 16 negara di Timur Tengah, India, Indonesia, Indochina, Filipina, dan Afrika, akan terus beroperasi seperti biasa.
BISNIS